Selasa, 07 Agustus 2012

The Rain.


Awalnya, ku kira dia layaknya hujan rintik di siang hari, yang datang tiba-tiba  dan pergi secara tiba-tiba juga. Tapi aku salah, dia berbeda.
                 
Aku mendesah untuk beberapa kali, gusar sambil menatap langit yang sedari tadi menangis. Aku melirik jam tanganku, sudah berjam-jam aku menunggu di cafe ini namun hujan tak juga reda. Sampai kapan aku harus menunggu disini? Gerutuku dalam hati. Padahal siang itu aku ada janji penting dengan temanku dan hujan seperti tidak perduli akan itu.
Aku tidak mengerti perasaanku akan hujan. Jika ditanya apakah aku suka hujan? Tidak juga. Apakah aku benci hujan? Tidak juga. Selagi sibuk menggerutu akan hujan, mataku berhenti menatap sosok itu, menatap dia.
Gadis manis dengan sweater coklat oversize berdiri di halte bus depan cafe tempatku berada. Matanya coklat bulat, rambutnya ikal, hitam panjang sebahu dibiarkan terurai. Aku memperhatikannya lekat-lekat seakan ingin mengingat terus penampilannya. Rambutnya tertiup angin. Tidak, ia tidak membawa payung. Mungkin itu yang membuatnya berteduh, pikirku. Apa yang ia tunggu disana? Apa iya juga gusar karena hujan? Sama seperti aku? Pertanyaan itu seakan terhapuskan saat aku sadar gadis itu melangkah maju. Membuat hujan membasahi rambutnya dan tubuhnya, aku menatapnya heran. Ia tidak berpindah, ia hanya berdiri disana dan detik berikutnya ia mnutup mata sembari mendongakkan kepalanya. Tetes-tetes hujan semakin membasahi wajahnya. Apa yang ia lakukan? Astaga.
Beberapa menit kemudian aku beranjak dari tempatku dan melangkah keluar menuju gadis itu, menorobos hujan. Langkahku terhenti dihadapan gadis itu, sesaat ia membuka mata dan terkejut menatapku.
“Hey, apa yang kau lakukan? Kau justru kehujanan?!” tanyaku. Gadis itu tidak memberi jawaban, ia justru beralih pergi dariku dengan langkah besar. Detik itu aku menganggapnya aneh.                                                                  
***
“Iya aku janji tidak akan telat. Hey aku kan sudah minta maaf, kemarin hujan deras dan kau tau itu. Lagipula aku kan tidak bisa menghentikan hujan. Iya, baiklah, bye.” Dan pembicaraanku dengan temankupun berakhir. Ya kami sedang buka bisnis kecil-kecilan jadi kejadian kemarin cukup membuang waktu kami.
Rasa penasaran menarikku seketika untuk kembali ke cafe yang kemarin. Aku tak tahu mengapa tapi ada rasa yakin bahwa hari ini akan turun hujan dan aku yakin sosok gadis yang kemarin itu akan muncul kembali. Ya ini sedikit gila, tapi hey apasalahnya? Aku hanya penasaran.
Setelah satu jam, hujanpun turun. Kali ini jauh lebih deras dari kemarin, setengah jam berlalu namun gadis itu tak urung muncul. Aku menatap keluar jendela sembari mencecepi kopi ku sesekali. Masih mengharapkan sosok itu datang, lagi. Namun tidak ada tanda-tanda dia akan datang, dan aku merasa bodoh sekarang. Iya memang tidak mungkin ada orang yg datang secara rutin hanya untuk hujan-hujanan, haha lucu. Aku segera beranjak keluar, dan tiba-tiba ia muncul.
Ia muncul, kali ini dalam balutan mantel hitam dan masih tanpa payung. Akupun menghampirinya sesaat menghentikan langkahku. Dan ia berbalik, menatapku. Aku melambai dan berkata “hai” pelan, nyaris tak terdengar. Ia diam tak ada jawaban, aku kembali berkata “disini hujan, bukankah baiknya kau meneduh?” ia menatapku dan menggeleng, kemudian pergi melangkah meninggalkanku, lagi. Hari itu aku menganggapnya unik.

***
Hari berikutnya aku bercerita kepada temanku soal kejadian yang kualami selama dua hari kemarin. “iya ini aneh aku tidak pernah merasa penasaran seperti ini.” Ucapku. “haha yang benar saja, mungkin dia tidak tertarik padamu teman.” Ucapnya tertawa. Aku hanya mendengus dan beranjak pergi. Ya, aku memutuskan untuk kembali ke cafe itu.
Ini ketiga kalinya aku kemari, pelayan seperti hafal pesananku karena aku tiga kali berturut-turut kemari. Padahal alasanku kesini juga karena hal tertentu, hahaha. Tawaku dalam hati.
Selang beberapa menit hujan turun. Ini hujan paling deras dari dua hari sebelumnya, disertai angin kencang dan halilintar. Aku khawatir sosok itu tak akan datang karena cuaca yang tak mendukung. Namun aku salah, dia datang. Tanpa menyia-nyiakan waktu aku menghampirinya. Masih sama, ia menatapku dengan mata bulatnya sambil terkejut dan aku membalasnya dengan senyum. Sedetik kemudian ia balas tersenyum. Aneh, pikirku.
“Kau tidak sedang membuntutiku kan?” ujarnya. Aku terkejut, dia bicara padaku? Benarkah? Aku mencoba tenang dan menjawab “hah? Tenang aku orang baik, aku Davi.” Ku ulurkan tanganku menunggu jawabannya, dan ia mengulurkan tangannya juga sambil mengangguk pelan. “Aku suka hujan, sangat suka” katanya. Aku mengangguk mengerti, “mengapa kau suka hujan?” tanyaku. Dia tersenyum tanpa jawaban, satu jam bertikutnya kuhabiskan untuk menatap hujan dengannya. Nyaman. Iya itu yg kurasa. Sesaat aku bertanya “kau akan datang lagi besok?” “mungkin” jawabnya. Kali itu aku menganggapnya menarik.

***
“Oh ayolah itu tidak bodoh” ujarku. Temanku yang datang kerumahku mentapku dengan gelak tawanya. “apanya yg romantis? Memperhatikan hujan dengan seorang gadis aneh?” jawabnya. “ah kau memang tidak punya sisi romantis, baiknya aku bercerita kepada orang lain” aku mendengus kesal sembari keluar meninggalkan temanku sendiri dalam rumah.
Diluar dugaanku, hujan datang. Ku kira hujan takkan datang karena cuaca yg cukup cerah. Hanya hujan ringan, tidak ada angin ataupun petir. Aku mulai mencarinya, kutengok kiri, kanan tapi nihil. Hujan reda dan ia tak kunjung datang, aku memutar bola mataku. Saat itu aku menganggapnya menyebalkan.

 “Mungkin ia sakit” itu kata temanku saat aku kembali. Hari itu aku cukup kesal. Aku tahu ini aneh, apa yang aku harapkan? Menemui sosok itu tiap hari? Aneh bukan? Bahkan aku tidak tahu namanya. Iya! Benar aku bahkan tak tahu namanya, sungguh bodoh.

***
Hari ini hujan tidak turun. Langit terlihat sangat cerah, namun aku tetap datang ke cafe itu. Aku masih cemas, bagaimana kalau ia tidak datang? Hari ini hujan benar-benar tidak turun, aku mulai merasa benar-benar bodoh, sungguh. Menghabiskan waktu. Aku beranjak dari tempatku dan secara tiba-tiba gadis itu muncul, tepat dihadapanku. Dengan sweater abu-abu. Ia duduk dihadapanku dan aku segera kembali duduk.
“Aku benci hujan. Aku tidak suka hujan sama sekali” ujarnya sembari mengerutkan kening. Aku terdiam, aneh. Sunggu aku tak mengerti. Tiba-tiba suara berat berteriak “Raina” ucap pria paruh baya itu. Sedetik kemudian gadis itu pergi dari hadapanku. “maaf jika sikapnya menjengkelkan, raina anak tunggal dia tidak terbiasa sendiri, dan sepeninggal mamanya kemarin ia terlihat murung” ucap lelaki yang berteriak tadi.
Jadi namanya Raina, dan mamanya meninggal, kemarin. Aku sungguh tak tahu itu. Aku bersimpati melihatnya, ku tepuk pelan bahu pria itu. Hingga kemudian ia pamit, meninggalkanku dengan berbagai pertanyaan.

***
          Aku tersentak saat mendapati gadis itu berdiri disamping mobilku, maksudku Raina. “Ra...raina?” tiba-tiba omgonganku terpotong olehnya “jangan bertanya, bawalah aku dan aku akan bercerita padamu” katanya.
          Aku terus berkeliling kota tanpa tujuan, tak ada pembicaraan selama perjalan itu hinggak akhirnya ia bicara. “Namaku Raina. Beberapa orang memanggilku hujan. Mama bilang aku lahir saat hujan sehingga mama menamaiku Raina. Pernah aku bertanya apakah hujan itu baik? Dan ia selalu menjawab bahwa hujan itu anugrah dan berkah dari Tuhan. Saat mendengar penjelasannya aku tersenyum, darisana aku manrik kesimpulan bahwa hujan itu pembawa kebahagiaan, tapi itu semua sebelum aku mengerti maksud yg sebenarnya, Davi” ia berhenti. Aku memperlambat laju mobilku dan menepi.
          “Kemarin Mama pergi. Pergi untuk selamanya” ucapnya melanjutkan, suarang terdengar sedih dan matanya sendu. “mungkin papa telah menceritakannya padamu, dan kau tahu saat Mama pergi, hujan justru mengiringi kepergian Mama. Mama pergi karena hujan, aku yakin kalai aku tidak ada Mama tak akan pergi. Kalau tidak ada hujan, Mama pasti masih disini.” Ceritanya, terisak.
          “Hey, kau tidak boleh begitu, itu semua takdir Raina. Mamamu pergi karena memang sudah saatnya, tidak ada yg salah denganmu atau hujan. Hujan yg mengiringi kepergian Mamamu bukan hal buruk, tetapi itu bentuk tarian perpisahan dari langit. Aku yakin ibumu tersenyum jauh diatas sana” ucapku panjang lebar. Tangisnya sesaat mereda. “Raina, jangan pernah salahkan dirimu sendiri.” Lanjutku.
“Aku pergi, Davi. Aku tak mau orang disampingku kena sial karena aku.” Ujarnya sambil beranjak. “terserah apa yang kau pikirkan yang jelas kau harus melihat hal positif dalam setiap masalah” teriakku padanya. Sebelum ia pergi menjauh aku sempat berkata “Kau tahu taman kota bukan? Temui aku disana besok jika kau setuju dengan perkataanku.” Hari itu aku menganggapnya manis.

***
Aku menyerah, hampir menjelang malam gadis hujan itu tak kunjung datang. Terbesit sedikit kekecewaan disana. Aku duduk dibangku tangan dengan gitar dipangkuanku sambil melantunkan bait lagu.
“When the rain comes, she comes. No its not coincidence, its just her that is the rain, yes her name is Rain.......” nyanyianku terpotong saat melihat sosok gadis cantik berdiri dihadapanku sambil bertepuk tangan dan tersenyum “terima kasih, aku suka lagunya” ucapnya. “mengapa kau muncul tiba-tiba?” kataku. “hey kau yg memintaku datang, sekali lagi terima kasih lagunya. Dan sekarang aku mengerti” “mengerti apa?” jawabku bingung. “iya, aku mengerti aku tidak seharusnya menganggap kepergia Mama sebuah kesalahan, karena itu semua adalah takdir Tuhan yg telah ditetapkan.” Katanya.
          Aku tersenyum, cukup lebar. Seketika ia melanjutkan perkataannya “kau tahu aku jadi lebih suka hujan dari sebelumnya.” Aku mengerutkan kening . seakan membaca kebingunganku ia menjawab “karena kau, kau membuatku bersinar. Bukan hanya saat hujan bahkan setelahnya, disaat pelangi muncul.” Malam itu aku jatuh cinta.
         
***
          Beberapa hari kemudian, aku tidak pernah bertemu Raina. Aku merasa bodoh, waktu itu aku lupa bertanya namanya dan sekarang nomer handphonenya.
          Esoknya aku mampir ke cafe dimana aku bertemu Raina, aku termenung sampai seketika seseorang mengagetkanku. Raina, iya dia berdiri diluar cafe tepat depan jendela tempatku berada. Ia mengetuk jendela memberiku isyarat dan detik berikutnya ia menggerakkan jari telunjuknya di kaca dan membentuk gambar hati. Aku tersenyum melihatnya. Lalu kutuliskan sesuatu dikertas “boleh aku memanggilmu hujan?” tulisku. Ia hanya mengangguk.
          Senyumku kian lebar saat aku kembali menuliskan sesuatu padanya. Kau tahu apa isinya?
“Aku cinta Hujan.”                     
Begitu. Lalu Hujan tersenyum.

THE END.




I don’t know if this make sense, but yeah however i don’t know where the idea comes. Jadi ini cerpen pertama gue, buat iseng-iseng aja. Hehe. Comments? I’d really appreciate that :D                                                                                                                                                    


Tidak ada komentar :

Posting Komentar