Selasa, 07 Mei 2013

Peta


"Kalau aku tersesat, biarkan saja. Asal kau berjanji menjadi peta bagi ku." 

Begitu aku bilang padanya, dulu. Waktu itu dia tersenyum. 
Aku pernah berlari dan terjatuh. Hatiku pernah jatuh dan pecah, pernah jatuh dan tetap utuh. 
Jiwaku pernah terbang dan melayang, pernah mengawang dan terombang-ambing kedamaian. 
Degupku sering mendengar detakmu. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak dipahami kepalaku. 
Rinduku pernah mengusap air matamu, memeluk kosong yang bertengger di detikmu. Hingga gema perpisahan meledak di telingaku. 
Dan ketidak kuasaan menyelimut kaki dan tanganku. "Kalau kamu tersesat, karena peta-mu hilang bagaimana?" Begitu tanyamu padaku hari itu. 
Ada janji yang teringkar, ada rasa yang terabai, ada air mata yg tertahan. 
Aku menatap langit. Mengawang, memikirkan pertanyaanmu. Lalu, ku jawab "Tuhan punya caranya sendiri. Kalau petanya hilang, biar saja entah bagaimana caranya Tuhan menunjukkan jalanku untuk pulang." Kamu diam, tidak membalas. 
Aku tersesat, karena petaku hilang. Tapi aku kembali pulang karena aku menemukan peta yang lain.
 Dia. Iya, dia petaku yang membawaku pulang. 
Terkadang kita harus sakit hati dulu baru memilih untuk move on. 
Ini bukan lagi tentang aku yang tersesat dan kamu sebagai petanya. 
Tapi ini tentang aku yang kembali pulang karena dia adalah petanya. Dia petaku.