Sabtu, 12 Januari 2013

Bahagia Itu Simple


Bahagia itu simple.
Disaat dia lagi super hectic, kurang tidur, fokus terpecah-pecah, namun ada satu hal yang bikin lupa tentang semuanya iyu. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi.

Bahagia itu simple.
Disaat kamu dikelilingi sahabat yang punya bakat pelawak. Tidak ada lagi waktu luang untuk menyendiri, tidak ada lagi waktu untuk mengingat kenangan lama. Bahkan untuk setetes air mata pun tidak sempat untuk dibuang.

Bahagia itu simple.
Disaat pertama kali mencoba makanan baru. Setiap rasa menjadi sesuatu yang baru. Rasa itu melekat, mengingatkan kita pada hari itu. Itu mungkin kenapa jatuh cinta mirip dengan makanan. Itu mungkin juga kenapa setiap nge-date selalu di restoran. Ah nge-date sama siapa? Sama makanan.

Bahagia itu simple.
Disaat semua orang dan rutinitas baru ini menjadi hal biasa yang padahal pada awalanya completely foreign. Disaat justru orang yang selama ini tidak terbesit di pikiran kita sebelumnya, menjadi salah satu yang mengambil peranan besar dalam menciptakan kebahagiaan ini.

Bahagia itu simple.
Disaat hujan turun dengan lebatnya, lalu kita duduk di samping jendela, mengamati hujan, dan pasang earphones dengerin lagu-lagu dari iPod (coba deh dengerin lagu After the Rain – Adhitya Sofyan) atau kita menutup mata kita sambil dengerin raindrops. Tenang dan nyaman. Bukan galau kan? Karena pada dasarnya ada saat dimana manusia butuh ketenangan untuk akhirnya tenggelam dalam dunianya sendiri.

Bahagia itu simple.
Disaat kita berkomunikasi sama Tuhan. Mencurahkan isi hati. Lalu semuanya menjadi baik-baik saja. Disaat kita pusing tujuh keliling tapi setelahnya seperti 10 kilogram beras yang kita panggul terangkat dari bahu.

Kebahagiaan itu ada dimana-mana. Waktu Tuhan menciptakan kita, aku percaya Dia juga menciptakan kebahagiaan itu di setiap aspek kehidupan kita. Karena Dia sendiri adalah si sumber kebahagiaan tersebut. Mungkin dia ada di setiap tugas-tugas mu. Mungkin dia ada di sahabatmu, ada di hobi mu, ada di keluarga mu maupun lingkungan mu.

Bahagia itu simple, disaat kamu menjalankannya dengan simple.

Senja di Langit Sore



“Senja!” aku mendengar seseorang memanggilku dibelakang tapi aku tak menghiraukan, saat ini aku hanya ingin pulang dan cepat sampai rumah, perutku juga sudah menimbulkan suara-suara aneh. “Senja!” sekali lagi suara itu memanggil, aku pun menoleh.
“Ada apaansih ngit?” semprotku. “Aduh jutek amat sih nja, pulang bareng dong tapi tungguin gue dulu ya, Cuma mau ngambil modul dari pak Ghani buat olimpiade, mau ya nja?” tanya Langit. Ah Langit, dia baik, pintar, ganteng, jago basket, juga populer. Dari dulu sampai sekarang dia tidak berubah, begitupun aku dan segala perasaan ini.
“Woy senja. Lu kenapa sih bengong gitu ngeliatin gue, gue ganteng ya?” goda langit dan aku pun tersadar. “Idih apaan sih lu ngit, pede tingkat tinggi lu!” elakku. “Yaudah gue tungguin, buruan ya gue udah laper nih pengen makan masakan mama dirumah, hahaha” candaku pun disambut toyoran dari langit. “Awwww” desahku sambil mengelus kepalaku.
Langit segera berlari ke arah ruang guru. Aku melihat punggungnya yang akhirnya menghilang. Senja dan Langit, begitu pantas nan indah nama kami bila disandingkan. Tapi aku dan segala perasaan ini hanya dapat menyimpannya dalam hati. Bagaimana mungkin kan Senja dan Langit sahabat dari kecil tiba-tiba pacaran, hahaha impossible. Aku tertawa dalam hati, menertawakan diri sendiri. Aku dan Langit jelas berbeda, kita memang bersahabat. Tapi Langit dengan segala pesonanya bersanding denganku? Tentu saja tidak mungkin bukan.
Tiba-tiba seseorang menggamit tanganku membuatku terlonjak “Yuk nja balik” dia Langit-ku.

***

Aku datang kesekolah lebih pagi dari biasanya. Hari ini aku berangkat sendiri tanpa Langit, aku sedang malas bertemu dengannya takut, takut kalau perasaan ini akan terlihat jika sering bertemu Langit.
“Senjaaaaaa.” Suara langit terdengar jelas ditelinga. Mau apalagi dia
“Kenapa ngit pagi-pagi ceria amat?” tanya ku.
“Gue mau cerita nih. Tadi pagi gue ketemu Safira, hebatnya lagi dia senyum ke gue nja.” Langit bercerita dengan binaran dimatanya.
“Wah, bagus dong. Semoga pdkt lu sukses ngit, hehe” aku tertawa garing
“Yaudah, deh nja, gue masuk kelas dulu ya, latihan soal olimpiade menunggu nih.”
“Gaya!” protesku.
Hah, Langit. Cintamu terlampau luas untuk Safira. Jelas aku berbeda dengannya. Tapi bisakah kamu tidak membicarakan tentangnya dengan mata sebinar itu? Aku mulai tidak bisa menutupi cemburuku.
           
***

            Sudah seminggu semenjak kejadian atas curhatan Langit padaku. Sudah seminggu juga aku tidak pernah pulang bersama lagi sama Langit. Kalaupun bertemu paling hanya tegur-sapa. Tidak ada obrolan lain.
“Gue denger Langit jadian sama Safira ya nja?” tiba-tiba Firda teman sebangku-ku bertanya.
“Hah? Gatau deh Fir langit gak cerita sama gue.” Jawabku seadanya.
“Sakit ya nja rasanya?”. Aku mulai bingung kemana arah pembicaraan Firda. Dahiku berkerut “Sakit? Nggak gue gak sakit” jawabku penuh kebingungan.
“Iya raga lu emang gak sakit, yang sakit tuh hati lo.” Tepat! Aku langsung mengerti arah pembicaraan Firda. Tapi aku masih pura-pura tak mengerti, aku hanya tak ingin orang lain tahu perasaanku ini. “Lu ngomong apaansih Fir, perasaan tadi pagi gak kenapa-kenapa ini siang-siang nanya-nya aneh.” Semprotku kepada Firda.
“Mau sampe kapan sih nja? Jangan bohongin perasaan sendiri kenapasih. Setiap orang berhak untuk dipilih dan memilih, berhak untuk dicinta dan mencinta.” Firda menasihatiku.
“Enggak begitu fir. Rasanya tuh beda.” Ya semuanya beda, Langit, aku dan segala perasaan ini. Semuanya salah. Langit itu sahabatku harusnya aku gak menyimpan segala perasaan ini.
“Apanya yang beda sih nja?” tanya Firda menyelidik.
“Keadaannya beda. Gak segampang itu.” Jawabku sambil menghela nafas dalam.
“Karena kalian Sahabat?” 100 buat lu Fir!
“Senja dengerin gue ya, kalian emang sahabat tapi emang salah untuk saling sayang? Gak kan! Gue yakin kok Langit juga pasti menganggap lo lebih dari sahabat. Bukannya enak kalo pacaran sama temen deket yang udah kenal lama pula, kalian pasti udah bisa saling mengerti satu sama lain. Ini tahun terakhir kita di SMA nja, lo bakal nyimpen perasaan itu sampe kapan? Mumpung ada kesempatan, belajar hargain waktu nja.” Jelas Firda panjang lebar. Aku termenung apa yang dibilang Firda betul. Tapi aku belum siap dan tidak akan pernah siap untuk kehilangan Langit-ku.
“Yang disayang Langit tuh Safira, bukan gue Fir. Gue dan Langit itu sahabat dan sampai kapanpun selalu begitu.”
“Ya terserah lu aja nja. Asal jangan nyesel nantinya. Udah ah gue mau istirahat ntar keburu bel masuk lagi. Daahhh Senja” ucap Firda ceria.
Ah, Tuhan maafkanlah Senja dan atas segala perasaan ini.

***

KRINGGGGGG!!!! Bel pulang sekolah berbunyi. Aku bergegas memasukkan buku-buku pelajaran kedalam tas. Kepalaku pusing masih teringat perkataan Firda ditambah pelajaran Matematika di jam terkahir. I hate math so much. But i love the person who loves math. Aduh Gila udah bener-bener gila lo nja.
“Halo Senja. Lama tak jumpa nih kita” Nah! Panjang umur tuh orang baru juga abis dipikirin. Eh kan mulai lagi day-dreamingnya nja. Ugh.
“Lebay amat sih ngit.” Jawabku masih sibuk dengan buku-buku.
“Kangen nih nja gue sama lu. Kangen curhat-curhatan.” Ujar langit sok manja.
“Iya tau kok emang gue ngangenin kan.”
“Iya emang. Pulang bareng yuk nja.” Ajak Langit.
“Enggak deh ngit, lu ajak Safira aja sana.” Jawabku sambil mendorong punggung Langit. “Dia dijemput nja, kalo nggak mah udah gue ajakin dari tadi. Sekalian gue traktir pajak jadian nih, hehe.” Aduh Langit please jangan mulai lagi kek yang ada gue nangis nih. Hari ini udah cukup melelahkan. Firda, matematika, lu dan juga Safira.
“Lain kali deh ya ngit, gue ada janji ama Firda. Sorry.” Tolakku sopan walaupun harus berbohong. Yang penting hari ini gak sama Langit dulu. Aku terlalu lelah.
“Ah, yaudah deh. Salam buat Firda.”

***

Ini tahun terakhir-ku dan juga Langit di SMA. UN tinggal seminggu lagi. Tapi aku dan Langit semakin jauh. Pertemuan terakhir kami dengan obrolan penuh terjadi waktu Langit menang Olimpiade matematika. Setelah itu tidak ada lagi obrolan panjang ala Senja dan Langit. Ah siapa perduli toh Langit punya Safira.
“Nah, gitu nja. Ngerti kan?”
“Eh kenapa Fir? Bisa ulangin lagi gak hehe.” Jawabku. Aku baru sadar dari tadi tidak mendengarkan penjelasan Firda tentang matematika ini.
“Capek deh nja, perlu diajarin ama abang Langit nih?” Goda Firda.
“Mane bang. Ngada-ngada aja sih lu.” Sanggah –ku
“Hahaha iya-iya, udah fokus kenapa. UN is coming tau.”
“iya maaf ibu guru Firda. Eh tapi gue laper istirahat dulu yuk. Udahan dulu main itung-itungannya.” Aku pusing berkutat dengan soal matematika yang seabrek.
“Ayuk.” Ucap Firda sambil menggamit tanganku menuju kantin.
“Pak! Bakso sama es teh ya dua.” Teriak Firda kepada pak Min penjual bakso dikantin dan dijawab dengan acungan jempol oleh pak Min.
“Eh nja, Langit tuh dibelakang lu. Kayaknya jalan ke arah sini.” Ujar Firda.
“Hah? Aduh balik ke kelas aja yuk Fir.” Ajakku pada Firda. Tapi..................terlambat.
“Hai Senja, Firda.”
“Hai ngit.” Jawab Firda sambil tersenyum.
“Gak makan lu nja?” tanya Langit
“Gue lagi nunggu pesenan kok.” Jawabku seadanya.
“Langit!!!” aku mendengar suara perempuan memanggil.
“Eh nanti lagi ya gue ke Safira dulu, dah Senja dan Firda.”
Safira. Pasti. Kenapa harus Safira sih ngit, kenapa bukan gue?

***

Aku sudah menghadapi UN dan lusa adalah hari kelulusan, tapi aku masih bertahan pada perasaan ini. Aku masih mengagumi dan menyayangi Langit diam-diam. Aku terlalu pengecut untuk mengaku.
“Nja, lusa kelulusan loh. Itu tandanya bakal ada perpisahan antara lo dan Langit. Setelah lulus Langit kan gak di jakarta lagi nja. Gak mau nyoba gitu?” tanya mas Bintang. Selain Firda, mas Bintang merupakan salah satu orang yang tahu tentang perasaan ini.
“Gak tau mas, aku bingung.” Jawabku masih terduduk di atas tempat tidur.
“Mau gak mau kamu harus nyatain nja. Jangan biarin dipendam gitu aja. Gak sehat tauk!”
“iya mas. Udah gih turun dicariin mama tuh.”
“adek songong emang, mas sendiri malah diusir.”
Orang-orang disekitar selalu kayak gitu. Gak Firda, Gak Mas Bintang sama aja. Emang mendam perasaan tuh gak enak, tapi nyatainya juga gak gampang kan?
           
***

Hari Kelulusan.

Setelah 6 tahun SD, 3 tahun SMP dan 3 tahun SMA, akhirnya aku lulus. Aku senang sekali bisa lulus dengan nilai yang baik. Hebatnya lagi nilai matematika-ku yang sangat baik. Senja dengan matematika? Luar biasa. Namun masih ada satu yang mengganjal. Langit.
Hari ini aku mau melakukan sesuatu yang sudah seharusnya ku lakukan dari dulu. Berkat nasihat-nasihat keramat dari Firda dan Mas Bintang. Aku sudah siap, kurasa. Dengan segala kehilangan, toh setelah ini aku tidak akan bertemu Langit lagi kan? Dia akan melanjutkan kuliah di Jogja dan aku di Jakarta. Jadi, aku rasa aku siap dengan segala perasaan ini dan segala akhirnya nanti.
Dan hal yang harus dilakukan sekarang adalah, mencari Langit. Aku berjalan ke taman belakang sekolah dan disanalah dia, berdiri sambil memandang lurus ke arah pepohonan.
“Langit.”
“Eh Senja. Selamat ya, UI menunggu tuh haha.” Ujar langit ceria. Ah aku suka, sangat suka senyumnya.
“Thanks ngit, lo juga haha.” Ucapku sambil tersenyum dan dibalas lagi dengan senyumnya yang selalu aku suka. Entah setelah ini apakah aku bisa melihat senyumnya atau tidak.
Ada jeda diantara kita. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Biar saja, aku masih ingin menikmati waktu berdua bersama Langit disini, di sore ini. Tuhan, jangan biarkan ini berakhir.
15 menit tanpa obrolan sampai akhirnya aku memutuskan untuk berbicara terlebih dahulu.
“Gak kerasa ngit kita udah bareng-bareng dari lama banget. Dari SD jamannya lu masih suka ngompol ampe sekarang.”
            “Hahaha iya ya nja. Bakal kangen deh nih .” tawanya renyah.
            “Langit.” Panggilku
            “Ya?” dia menoleh kepadaku menunggu untuk lajutan kalimatku.
            “Gue mau ngomong sesuatu yang seharusnya udah gue omongin dari lama. Tapi gue mohon lu jangan marah ya ngit.” Ujarku ragu. Ah kenapa di saat seperti ini justru aku ragu?
            “Gak mungkin gue marah sama lu nja, mau ngomong apasih?”
            “Kita udah sahabatan dari kecil kan? tapi 3 tahun terakhir di SMA itu beda ngit. Kita udah mulai tumbuh dewasa dan mengenal rasa sayang. Dan gue..... gue sayang lo ngit. Bukan, bukan sebagai sahabat tapi lebih dari itu. Gue emang salah gak ngomong ini dari awal, tapi gue Cuma gak mau aja kehilangan lu sebagai sahabat gue. Apalagi.....semenjak ada Safira keadaannya makin rumit. Tapi gue janji setelah ini gue bakal berusaha ngelupain lu dan seluruh perasaan ini.” Jelasku dengan senyum getir dan mata berkaca-kaca. Air mata ini sudah mendorong pelupuk mataku untuk segera keluar. Aku tidak siap untuk kehilangan. Tuhan jangan biarkan Langit meninggalkanku.
            “Jangan nja, jangan hilangin perasaan itu. Jangan lupain gue nja. Gue gak mau lu ngilangin itu semua. Karena, gue juga sayang lu.” Ujar Langit.
            “Sebagai sahabat gue tetep sayang sama lu kok, yang akan gue ilangan perasaan sayang yang berlebih itu ngit. Aduh bego banget ya gue nangis gini, haha.” Tawa kesedihan jelas terbaca disana.
            Tiba-tiba Langit langsung merengkuhku erat. “Justru itu yang gak gue pengenin. Biar seperti itu aja perasaan lu ke gue. Biarin perasaan itu tumbuh nja. Karena gue juga sayang sama lu, lebih dari sahabat.” Ya Tuhan kalau ini mimpi tolong jangan bangunkan aku. Ini terlalu indah untuk jadi nyata.
“Langit sayang Senja. Teramat sangat. Di sore ini, saat ini aku Langit mau bertanya sama Senja.” Langit melepas pelukannya dari-ku dan menatap mataku lekat-lekat.
“Senja, kamu mau jadi pacar Langit?”
Aku cubit lenganku berkali-kali dan terasa nyeri. Tidak, ini bukan mimpi. Ini nyata. Detik berikutnya aku hanya menganggukkan kepala dan Langit kembali memelukku erat. Tapi, satu hal membangunkanku. Jika aku bersama Langit, lalu bagaimana dengan Safira??? Aku melepas pelukkan langit. Sumpah aku lupa soal gadis itu. Astaga, gak lucu kan kalo ini mimpi, aku gak mau dibilang perebut cowok orang!
“Hmmm, ngit.”
“Iya Senja?”
“Safira gimana?”
“Hahaha biar aja dia, selama ini yang aku inginin ternyata Senja bukan Safira. Udah dong nja jangan merusak suasana dengan bawa-bawa Safira. Lagian aku sadar Safira gak ada apa-apanya dibanding kamu nja.”
“Aku lebih cantik ya ngit?” tanyaku percaya diri
“itu jelas. Hahaha.”  Kami berdua tertawa lepas.
Sore itu kami bahagia. Dan semoga selamanya akan selalu begitu. Ku harap.