Sabtu, 09 November 2013

To The Guy That I Love Hopelessly

Dear you…

I hate the fact that I am trying to reconstruct what I think about you.
I hate the fact that you show your dimple when you smile it makes me lose my balance, and how badly i want to shove a pencil into your dimple, oh well that sounded creepy, wasn't it?
I hate the fact that your green orbs eyes-blink make my hypothalamus order my body to stimulate adrenaline that enables my heart to pump two times faster, resulting my body to wet in this disgusting love sweat.

Why do you have to be so amazing?

Dear you…

Thank you for making me one step closer to be desperately in love with you than i already am.
Thank you for making me imagine how my hand would touch yours when I introduce you who I am.
Thank you for doing absolutely nothing, not even responding to how I feel.
Thank you for being so fantabulously amazing, ah, yes of course, I know that you live in a higher ground. I need to jump in order to grasp your toe.

But please, please, just stand there. So I know where you stand and how high I need to jump.

Dear you…

Can’t you hear it?
Can’t you hear me saying your names in my prayer? That someday you will even notice that we’re in the same world after all. That we breathe the same air.
I don’t have to switch my fin to have pairs of feet by my voice just to be part of your world, do I?
I don’t have to leave one pair of slippers just to make you chase me, do I?
I don’t have to roar in the middle of jungle just to make you realize that I exist, do I?
I don’t have to secretly wish to a magic genie to turn me into princess to outshine your aura, do I?

I never think I love you.
I never know I love you.
My brain, every smallest neuron particle of it, always orders me to find a magic wand to obliviate myself and erase you from my memory. I want to forget you. Indeed.
My rationality has never been this clear. And yet, my heart. My heart can’t just suddenly stop beating for you.
Do you know when your mother beats her heart for yours? That moment you don’t even have a heart. You’re just an embryo formed from a strong sperm injecting an ovum. You barely exist. But your mother’s heart has sustained your life in her womb.
My heart doesn’t sustain your heart. It sustains mine. It has to pump two times faster to make me live.

It hurts to forget you. It hurts to imagine that you don’t exist. Because you do exist, living life that i know i wouldn't fit in.
If I have to forget you, what will I get?
Yes, my heart will pump slower just like any other days before I met you.
Just like those other days filled with boredom and empty ambition.
Just like those old days filled with nothing.

Dear you…

I can no longer live with a slow pumping heart.
You are my pacemaker. You make my heart beats two times faster. You spark excitement to my life. To a certain extent, I feel that what I am having is idiocy. But to think that there might be chances where we meet, look at each other, smile at each other, and hold hands to say “Hi”… It denounces all my rational calculation. Possibility might still exist if I bear this pain.

For now, allow me to think of you.
For now, allow me to visualize how I might randomly meet you in the perfect time and perfect place.
For now, allow me to imagine how I will approach you, and you approach me, look up to me and listen very carefully when I whisper, “Hello, I love you”.

Sincerely,
A Girl Who Hopelessly in Love With You

Sabtu, 02 November 2013

Brain and Heart

Brain: "Heart, i can’t reach you. Tell me your skype, i wanna talk to you".

Heart : "Sorry, i’m busy preparing myself for him. Call me later"

Brain : “It’s about him, i had a bad feeling”

Heart : “Pardon me, feeling? Hey i owned that. Where’s your logic anyway?”

Brain : "I can’t reach you! if you keep not listen to me, i’m gonna dissapear. Let’s talk"

Heart : "I’m BUSY. LEAVE ME ALONE"

—————————————-—————————————-

Heart : "Brain….. i’m not busy right now. This place is still empty. He’s not coming. Are you there?"

Heart in the head : "Yes, i am here" 

Tinggalkan Aku

Sapuan mata terhenti pada garis tertentu.

Memilih pura pura buta supaya lupa, memilih pura pura lupa untuk meringankan luka

Semua masih langkah pura pura. Hanya perkara waktu nanti yang menjadikannya nyata.

Seperti anak kecil yang merengek dan menangis hingga tertidur, ia esok akan lupa meminta boneka atau permen.

Seperti itulah,

Semoga esok aku lupa, pernah meminta kamu

dan aku kembali berjalan bukan dengan langkah pura pura.

Jika engkau biarkan, Tuhan dan alam akan berkonspirasi membuatku lupa.

Itu jika engkau biarkan aku dan berhenti melawan lupa dengan terus mengingatmu

Sekarang setiap mimpi yang terajut,

merupakan rentang selangkah menjauh dan lalu mendekat pada hutan asa baru.

Hingga aku tergiring dan tersesat lagi dalam belukar senyum, yang tumbuh di kepalaku.

Serajut mimpi. Selangkah menjauhi lalu. Sehasta mendekati baru.

Tak cukup kau buru aku lewat kenangan, kau tikam pula aku lewat mimpi.

Maumu apa? hatiku sudah terkoyak, aku tak punya lagi.

Bagaimana menghilangkanmu?

Saraf di kepala bagian mana yang harus kuputus untuk mengenyahkan kamu yang terus menggerogoti.

Seperti rayap

Yang enggan meninggalkan kayu.

Sudah cukup kau jajahi aku seperti itu.

Kamu lari dari hati ke kepala. Mengobrak-abrik lagi apa apa saja yang masih tersisa.

Perjalananmu mengalir bersama darah. Mendesir gelisah ke segala arah.

Sesampainya di kepala kamu bingung. Ada kamu di dalamnya. Bukan satu, tapi seribu, dua ribu, entah kau sendiri tak sanggup menghitungnya.

Di hati kamu hanya satu, di kepala kamu sejuta, menempati luas rasa yang sebesar luar angkasa dikali dua.

Tak peduli, kau ajak semua kamu di kepala memporak porandakan semua. Lalu banjir air meluapi mata. Menggenangi pipi lalu ke hati.

Lalu kamu pergi, namun sedikitmu terus kembali.

Kaulempar sendiri bayanganmu kesini.

Bisa tolong berhenti.

Bisa kah engkau berikan aku waktu.

Bukankah aku sudah mengaku kalah?

Bukankah aku sudah tidak punya apa apa lagi?

Kapan aku bisa membenahi diri?

Tolong, kiranya engkau beri aku kesempatan untuk menjalani hidup yang baru, tanpamu. 

Buku

Ada rentetan huruf yang belum ku-eja. Tersimpan dalam buku. Kutelusuri satu per satu halamannya. Hingga kutemukan namamu.

Buku...

Aku mulai membacanya, aku tahu bab awal, tapi aku tak tahu kapan bab terakhir. Yang kutahu aku harus terus membuka satu per satu. Pada suatu halaman, aku beri pembatas buku berupa pita berwarna merah. Aku terhenti. Aku berhenti. Di situ.

Aku baca paragraf awal. Ah, bahkan membaca paragraf pertama hati ini sudah terasa nyeri. Aku tak yakin sanggup membaca paragraf-paragraf berikutnya.

Enggan membaca lagi. Kutinggalkan di rak buku. Setiap kutengok, yang aku lihat jelas hanya seutas pita merah yang terapit di antar halaman buku.

Terantuk di satu masa, ingin kusobek halaman berpembatas merah itu menjadi bagian-bagian kecil. Kuremas-remas dan kucabik, lalu kubuang saja di tempat sampah. Karena di halaman itu, kata kata yang tertulis terlalu tajam seperti belati. Ceritanya menyakitiku. Huruf-hurufnya menerjang akal sehatku. Setiap paragrafnya melumpuhkanku.

Aku terduduk di lembah bisu. Tak ada yang akan kubaca lagi. Tak ada yang ingin kubaca lagi.

Kemudian angin sepi berhembus. Keheningan merambati kulitku. Aku bergidik. Kusentuh lagi buku itu.

Kupegang pita pembatas berwarna merah di sela halaman yang kubenci. Warna yang cantik, namun tidak secantik kisah yang tertulis di halaman yang mengapit pita itu. Tapi bukankah itu yang menjerujiku. Pita itu selalu menjadi pengingat akan alur yang tak kuingin kubaca, sekalipun pita itu indah bagaikan pelangi senja. Tapi bukankah buku ini belum selesai? Bukankah aku belum tiba pada bagian akhir?

Kutarik dan kuenyahkan pita itu, dengan segenap tenaga kubalik lagi halaman baru. Berhenti terlalu lama membuatku lupa aksara. Kini aku kembali belajar membaca.

…… dan akan ku-eja namamu segera. Di halaman-halaman setelahnya. Akan ku temukan bagian akhir dari Buku kita.

Marah

Semua orang berlomba-lomba untuk berwibawa. Ujung-ujung nya tolol.

Semua orang berlomba-lomba untuk didengar. Ujung-ujung nya semua pura-pura tuli.

Semua orang berlomba lomba menjadi penguasa dan penjilat. Ujung-ujung nya kualat.

Semua orang berlomba-lomba jadi kaya. Ujung-ujung nya gila.

Semua orang berlomba-lomba untuk perduli. Ujung-ujung nya hanya kepo.

Semua orang berlomba-lomba untuk dipuji. Ujung-ujung nya hanya cari popularitas.

Semua orang berlomba-lomba untuk dihormati. Ujung-ujung nya jadi tidak tahu diri.

Semua orang berlomba-lomba jadi cantik. Ujung-ujung nya maksa.

Semua orang berlomba-lomba (terlihat) pintar. Ujung-ujung nya ngotot.

Banyak orang memuja senjata demi kekuasaan.

Banyak orang mati demi baju bagus dan perhiasan.

Banyak orang berani malu demi kepopularitasan.

Hidup bukan hanya sekedar popularitas, harta, jabatan, atau kecantikan.

Hidup itu waktu.

Hidup itu pelajaran.

Hidup itu kesempatan.

Saya marah terhadap diri sendiri, saya marah terhadap orang-orang. Bahwa tanpa kita sadari hidup kita terpaku pada keegoisan.

Saya marah, dunia ini marah, tapi jangan biarkan Tuhan marah.
Karena, apa yang kita miliki saat ini adalah milik-Nya, dan sudah seharusnya kita memusatkan diri pada-Nya, bukan pada hal duniawi.