Sabtu, 02 November 2013

Buku

Ada rentetan huruf yang belum ku-eja. Tersimpan dalam buku. Kutelusuri satu per satu halamannya. Hingga kutemukan namamu.

Buku...

Aku mulai membacanya, aku tahu bab awal, tapi aku tak tahu kapan bab terakhir. Yang kutahu aku harus terus membuka satu per satu. Pada suatu halaman, aku beri pembatas buku berupa pita berwarna merah. Aku terhenti. Aku berhenti. Di situ.

Aku baca paragraf awal. Ah, bahkan membaca paragraf pertama hati ini sudah terasa nyeri. Aku tak yakin sanggup membaca paragraf-paragraf berikutnya.

Enggan membaca lagi. Kutinggalkan di rak buku. Setiap kutengok, yang aku lihat jelas hanya seutas pita merah yang terapit di antar halaman buku.

Terantuk di satu masa, ingin kusobek halaman berpembatas merah itu menjadi bagian-bagian kecil. Kuremas-remas dan kucabik, lalu kubuang saja di tempat sampah. Karena di halaman itu, kata kata yang tertulis terlalu tajam seperti belati. Ceritanya menyakitiku. Huruf-hurufnya menerjang akal sehatku. Setiap paragrafnya melumpuhkanku.

Aku terduduk di lembah bisu. Tak ada yang akan kubaca lagi. Tak ada yang ingin kubaca lagi.

Kemudian angin sepi berhembus. Keheningan merambati kulitku. Aku bergidik. Kusentuh lagi buku itu.

Kupegang pita pembatas berwarna merah di sela halaman yang kubenci. Warna yang cantik, namun tidak secantik kisah yang tertulis di halaman yang mengapit pita itu. Tapi bukankah itu yang menjerujiku. Pita itu selalu menjadi pengingat akan alur yang tak kuingin kubaca, sekalipun pita itu indah bagaikan pelangi senja. Tapi bukankah buku ini belum selesai? Bukankah aku belum tiba pada bagian akhir?

Kutarik dan kuenyahkan pita itu, dengan segenap tenaga kubalik lagi halaman baru. Berhenti terlalu lama membuatku lupa aksara. Kini aku kembali belajar membaca.

…… dan akan ku-eja namamu segera. Di halaman-halaman setelahnya. Akan ku temukan bagian akhir dari Buku kita.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar