Sabtu, 17 Mei 2014

Judul

Namanya Judul.

Tempatnya di atas, hanya terdiri dari dua sampai lima kata, tapi dibebani sebagai perwakilan utama dari paragraf-paragraf panjang. Dianggap dewa dan tertera di setiap sampul. Disalahkan jika gagal menarik hati pembaca.

Judul sering dimetaforakan sebagai pintu utama yang bisa mengundang atau mengusir tamu dari teras untuk masuk ruang tengah sebuah kisah.

“Karena dia aku bahkan tak dibaca!” ujar Paragraf Pertama.
“Dan jika kau saja dilewati, apalagi aku!” sahut Paragraf Di Bawahnya.
“Baiklah, teman-teman, kita harus buat sebuah kesepakatan. Ini bukan salah Judul. Terkadang aku yang seharusnya simpel dibuat terlalu menjelimet sehinggga orang muak.” bela Kesimpulan.
“Sudah! Diam kalian semua! Aku Judul. Aku yang sejak awal menyanggupi tugas ini. Kalau dianggap Dewa, aku harus siap dengan konsekuensinya. Kalian diam saja dan laksanakan tugas dengan baik!” akhirnya Judul angkat bicara.

Lalu semua terdiam.

“Bagaimana jika kau sendiri gagal menarik mata-mata pembeli?” tantang Tanda Baca memecah kesunyian.
“Aku… Akan mundur. Kalian boleh bunuh aku. Jadilah kisah indah tanpa Judul. Biarkan sampul itu kosong tak bertuan, kalau itu yang kalian mau. Semoga kalian sanggup.”
“Kau serius?”
“Terkadang aku pun lelah menjadi Judul. Aku ingin ber-reinkarnasi dan lahir kembali sebagai Isi. Atau Koma.”

Tanpa disangka, percakapan barusan didengar oleh Sang Penulis. Penghapus pun diambil, dan sesuai permintaan Judul, ia lenyap menjadi noda pada karet. Tidak diganti, pula tidak lahir kembali.

Semoga engkau bahagia di alam sana, doa Kata dan Kalimat.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar