Kamis, 07 Maret 2013

Sebuah Pelukan


Bel pulang sekolah sudah berbunyi 30 menit yang lalu, namun pak Pur urung menjemputku. Aku yang dari tadi menunggu mulai bosan dan berdalih menuju ke perpustakaan. Perpustakaan terletak disamping tangga sekolah lantai satu. Perpustakaan merupakan tempat yang nyaman, aku menyusuri rak buku sastra, sambil berjalan aku melihat Dimas di pojok ruang perpustakan, raut wajahnya tampak serius membaca buku yang ada di hadapannya. Dimas memang begitu, dia aneh. Suka menyendiri, dan tidak banyak bicara. Dulu saat kelas 10 aku pernah satu kelas dengannya dan dia memang irit bicara sekali, paling-paling hanya seperlunya. Misterius.
“Boleh duduk sini Dim?” tanyaku pada Dimas, berusaha ramah. Dimas mendongakkan kepalanya dan tersenyum tipis, yang aku anggap sebagai jawaban ‘Ya’. Tidak ada pembicaraan diantara kami berdua, Dimas sibuk dengan bukunya begitu pun aku yang juga asyik membaca, tiba-tiba handphoneku berdering. “Halo, iya pak tunggu bentar ya.” Aku mengambil tas ku dan bergegas untuk ke parkiran karena pak Pur sudah menjemput. “Dimas, aku duluan ya dim.” Ucapku sambil tersenyum. “Iya nes.” Jawab Dimas datar.

***

Pelajaran bu Puji berjalan sangat lama, aku yang sedari tadi mengantuk hanya bisa berpura-pura memperhatikan. Sampai akhirnya suara dari interkom mengagetkanku “Kepada seluruh siswa siswi kelas 10 sampai kelas 12, diberitahukan bahwa kalian dipulangkan setelah jam pelajaran ke-lima habis, karena bapak dan ibu guru ada rapat untuk try out. Terimakasih.” Aku menghela nafas lega, akhirnya pulang cepat. Seisi kelas pun mulai gaduh.
KRINGGGG. Bel pelajaran habis dan itu berarti bel pulang lebih awal. Hari ini aku merasa sangat lelah. Aku pun keluar kelas, dan menyusuri koridor sendirian. Namun tanpa disengaja aku melihat Dimas buru-buru keluar dari ruang kelas menuju parkiran. Aku yang melihat itu pun bergegas menuju parkiran, dengan rasa ingin tahu yang tinggi akan Dimas si misterius itu.
Aku yang tadinya ingin sampai rumah lebih awal mengurungkan niat ku itu. Aku memilih untuk mengikuti Dimas. Aku yakin sekali dibalik sikap misteriusnya itu ada sesuatu yang ia sembunyikan, entah apa itu.
Aku yang hari itu kebetulan membawa mobil mengikutinya dari belakang, ia menaiki sepeda motornya. Entah mengapa aku merasa ada suatu kesedihan yang Dimas pendam di lubuk hatinya. Setiap kali berbicara ada raut kesedihan dan juga kekhawatiran pada wajahnya.
Setelah 30 menit di perjalanan tiba-tiba Dimas berhenti di sebuah rumah sakit. Aku bertanya-tanya siapa yang sakit? Apa Dimas sakit? Aku langsung memarkirkan mobilku dan mengikuti Dimas dengan jarak yang cukup jauh agar tidak ketahuan. Iya menuju meja informasi lalu bergegas pergi. Aku pun mulai mengikutinya lagi dari belakang. Dimas sangat aneh, sangat misterius sekali.
Dia memasuki sebuah ruangan, setelah beberapa lama aku mulai mendekat ke ruangan tersebut. Aku mengintip sedikit dari sela-sela tirai yang menutupi jendela. Aku tercengang, disana ada seorang wanita berumur kurang lebih 40-an terbaring lemah. Dan disana untuk pertama kalinya aku melihat Dimas menangis. Jadi ini alasan dia menjadi seperti itu. Dimas, dibalik sikap misteriusnya dia menyimpan suatu kesedihan. Dugaanku selama ini ternyata benar.

***

Keesokan harinya sepulang sekolah aku memutuskan untuk ke perpustakaan dulu, berharap akan menemukan sosok Dimas disana. Aku masih penasaran soal kemarin, atas apa yang aku lihat di rumah sakit.
Aku melihat Dimas membaca buku masih di tempat yang sama. Aku duduk di kursi tepat di hadapannya. Situasinya sama seperti waktu itu, sepi.
“Dimas.” Aku memanggilnya pelan. Dia mengalihkan pandangannya kepadaku, buku yang tadi ia baca pun diletakkan diatas meja. “kenapa Ines?”  tanyanya. “Ah, enggak kok gak apa-apa.” Aku menjawab lalu detik berikutnya mengalihkan pandanganku pada buku yang di pegang Dimas. “Kamu suka dunia kedokteran?” tanyaku kepada Dimas setelah melihat bahwa buku yang dia baca terkait dengan dunia Dokter. “Iya, aku mau jadi dokter.” Jawab Dimas singkat.
“Emmm, kenapa mau jadi dokter?” tanyaku penasaran.
“Aku mau bantu orang untuk menyembuhkan penyakit mereka. Menyembuhkan penyakit yang belum ada obatnya. Dan aku mau menjadi orang yang dapat menemukan obatnya itu.” Aku tercengang itu pertama kalinya Dimas berbicara panjang lebar kepadaku, ditambah lagi ia menceritakan tentang mimpinya.
“Kamu hebat. Kamu pasti bisa jadi dokter hebat.” Ujarku sambil tersenyum lebar. Dan dibalas senyum manis Dimas. “oh iya Dim, aku ngeliat kamu di rumah sakit kemarin. kalau boleh tahu, apa cita-cita kamu itu ada hubungannya sama itu?” aku bertanya. Ah bodoh sekali aku menanyakan hal itu. Itu urusan pribadi Dimas. Dasar Ines bodoh.
Dimas terdiam atas pertanyaan yang aku berikan. Dia pun mengambil tasnya dan meninggalkanku di ruang perpustakaan. Dia marah. Aku tahu itu dari raut wajahnya. Sial aku salah bicara.

***

Sudah seminggu setelah kejadian di perpustakaan itu bersama Dimas. Setiap kali bertatap muka, Dimas tidak pernah membalas senyumanku, aku merasa sangat bersalah. Hari itu aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Aku hanya ingin mencari tahu, sebenarnya siapa wanita yang di rawat disana.
Sesampainya dirumah sakit aku langsung menuju meja informasi. “permisi suster, saya mau tanya pasien yang dirawat di ruang melati itu siapa ya suster?” tanyaku. “maaf ya dik, saya tidak bisa memberi tahu, itu bagian privacy pasien.” Kata suster itu. “tapi suster saya temen sekolahnya Dimas. Dimas Priambodo, cowok yang suka kesini itu.” Jawabku meyakinkan. “oh temannya Dimas, mau menjenguk ibunya Dimas?” tanya suster itu menyelidik. Aku kaget, jadi itu ibunya Dimas. “Ah iya suster. Kalau boleh tahu dia sakit apa suster?” “Ibu Neni sakit Alzheimer dik.” Jawab suster itu. Rahangku terasa jatuh.
Aku pernah dengar penyakit itu, namun tidak tahu pasti apa akibatnya. Aku merasa bersalah kepada Dimas. Besok aku harus menemuinya.

***

Jam istirahat aku langsung berlari menuju ruang kelas Dimas, namun ia tidak ada disana. Aku juga langsung berlari ke perpustakaan dan tidak ada Dimas juga. Dimas dimana kamu? Jam istirahat hampir habis aku berjalan lesu menuju kelas lalu tiba-tiba aku melihat Dimas keluar dari toilet cowok.
“Dimas!” panggil ku
“Ada apa lagi? Kamu tuh ya jadi orang pengen tau banget urusan orang lain. Sampe kerumah sakit segala.” Kata-kata Dimas terdengar sekali kecewa.
“iya Dim, aku minta maaf. Aku gak ada maksud apa-apa. Aku Cuma heran aja karena kamu tuh pendiem banget. Setiap aku ngomong sama kamu aku selalu liat raut sedih dan kecewa di wajah kamu.” Jawabku, berharap Dimas dapat mengerti tiap perkataanku.
“Kita omongin nanti lagi ya, saya mau masuk kelas. Kamu juga masuk kelas aja sana.” Jawab Dimas masih terdengar dingin namun sedih. Aku pun hanya terdiam dan kembali ke kelas.

***

Siang sepulang sekolah terasa panas. Aku berdiri di parkiran dekat motor Dimas. Aku masih ingin bicara pada Dimas. Aku masih merasa bersalah dan Dimas seperti belum bisa memaafkan ku.
Aku masih berkutat dengan pikiranku sampai suara berat Dimas mengagetkanku. “Ngapain kamu disini?” tanya Dimas. “Aku mau ngomong lagi sama kamu.” Jawabku, takut-takut Dimas merasa tersinggung lagi.
“Ayuk naik.”
“Hah?  Naik kemana?” tanyaku bingung dengan ajakan Dimas barusan.
“Ya, naik motor saya. Ikut saya ke rumah sakit.”
Aku langsung menganggukkan kepala dan memakai helm yang Dimas berikan kepada ku. Selama di perjalan kami berdua diam. Aku bingung mengapa Dimas mengajak aku ke rumah sakit.
Sampai di rumah sakit kami langsung menuju ruangan ibu Dimas.
Aku terdiam melihat keadaan ibu Dimas, dia terlihat lemah di ranjang rumah sakit. Dimas yang duduk di samping ibunya hanya bisa memandanginya dengan mata sendu. Aku merasa simpati sekali.
“Alzheimer. Belum ada obatnya. Dan keadaannya juga semakin memburuk. Dia kehilangan akal sehatnya. Dia gak bisa ngapa-ngapain lagi. Memorynya hilang, dia bahkan lupa nama saya. Entah bagaimana dia masih bisa bertahan selama setahun ini.” Dimas menjelaskan panjang lebar secara tiba-tiba.
“Dim, maafin aku. Aku turut prihatin sama kamu, sekali lagi aku minta maaf ya Dim.”
“Gak apa-apa kok nes. Aku juga salah. Aku terlalu menutup diri sama dunia luar. Kadang aku juga butuh teman cerita. Tapi aku gatau siapa.” Ucap Dimas.
“Kamu punya aku sekarang Dim, aku mau denger semua cerita kamu.” Aku mengucapkannya mantap dan dibalas dengan senyum oleh Dimas.
Sekarang Dimas tidak sendirian lagi.

***

Sudah sebulan, aku dan Dimas juga semakin dekat. 2 kali seminggu paling tidak aku ikut Dimas menjenguk ibunya. Kadang aku juga bertemu ayahnya dan kakaknya disana. Namun sebulan itu juga keadaan ibunya kian memburuk. Sikapnya tidak semisterius dulu namun dengan kondisi ibunya yang memburuk Dimas semakin terlihat murung.
“Ines, hari ini mau ikut saya ke rumah sakit?”
“Mau Dim! Hehe.” Aku balas menjawab sambil tertawa.
“Kamu udah makan nes?”
“Udah kok Dim tadi di kantin. Kamu?”
“Saya juga udah kok.”
Di motor Dimas kami mengobrol sambil tertawa. Aku senang melihat perubahan Dimas yang mau lebih terbuka terhadap orang lain.

***

Entah mengapa saat tiba di rumah sakit suasananya berubah menjadi tidak enak. Apakah ini hanya perasaanku saja atau memang ada sesuatu yang tidak mengenakan terjadi?
Feeling-ku tidak salah saat memasuki ruang ibu Dimas. Kain rumah sakit menutupi wajah ibunya, ayahnya dan kakaknya menangis di tepi ranjang. Tubuhku lemas seketika. Dimas yang ada di sampingku pun langsung memeluk jasad ibunya. Jadi ini akhirnya.

***

Di hari pemakaman aku hadir. Aku melihat Dimas disana, berdiri, ia tidak menangis. Aku tahu ia berusaha tegar. Aku menghampiriya dan menggandeng tangannya juga mengelusnya dengan ibu jari-ku.
“Sabar ya Dimas. Tuhan punya caranya sendiri untuk menyadarkan kita bahwa ada dimana saatnya kita kehilangan.” Aku berkata sambil menenangkan Dimas.
Dimas berbalik menatapku sambil berkata “saya tahu. Dan Tuhan mengirimkan kamu untuk saya, agar saya tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja.” Aku tersenyum mendengar ucapan Dimas, terdengar sangat tulus.
“Kamu pasti akan jadi dokter yang hebat Dim nantinya. Kamu bisa menemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit langka. Kamu bisa membantu mereka yang membutuhkan.”
“Terimakasih ya Ines. Terimakasih banyak.” Dimas tersenyum tulus. Tidak ada lagi raut murung di wajahnya.
Aku pun langsung merengkuh Dimas dengan tangan kecil ku.
“Aku tidak tahu bagaimana cara kerjanya dalam memberikan pelukan yang baik, tapi aku tahu kadang di saat seperti ini yang dibutuhkan seseorang bukan lagi kata-kata yang menenangkan, tapi sebuah pelukan yang mampu menenangkan.”

















Tidak ada komentar :

Posting Komentar