Bel
pulang sekolah sudah berbunyi 30 menit yang lalu, namun pak Pur urung
menjemputku. Aku yang dari tadi menunggu mulai bosan dan berdalih menuju ke
perpustakaan. Perpustakaan terletak disamping tangga sekolah lantai satu.
Perpustakaan merupakan tempat yang nyaman, aku menyusuri rak buku sastra,
sambil berjalan aku melihat Dimas di pojok ruang perpustakan, raut wajahnya
tampak serius membaca buku yang ada di hadapannya. Dimas memang begitu, dia
aneh. Suka menyendiri, dan tidak banyak bicara. Dulu saat kelas 10 aku pernah
satu kelas dengannya dan dia memang irit bicara sekali, paling-paling hanya
seperlunya. Misterius.
“Boleh
duduk sini Dim?” tanyaku pada Dimas, berusaha ramah. Dimas mendongakkan
kepalanya dan tersenyum tipis, yang aku anggap sebagai jawaban ‘Ya’. Tidak ada
pembicaraan diantara kami berdua, Dimas sibuk dengan bukunya begitu pun aku
yang juga asyik membaca, tiba-tiba handphoneku berdering. “Halo, iya pak tunggu
bentar ya.” Aku mengambil tas ku dan bergegas untuk ke parkiran karena pak Pur
sudah menjemput. “Dimas, aku duluan ya dim.” Ucapku sambil tersenyum. “Iya
nes.” Jawab Dimas datar.
***
Pelajaran
bu Puji berjalan sangat lama, aku yang sedari tadi mengantuk hanya bisa
berpura-pura memperhatikan. Sampai akhirnya suara dari interkom mengagetkanku
“Kepada seluruh siswa siswi kelas 10 sampai kelas 12, diberitahukan bahwa
kalian dipulangkan setelah jam pelajaran ke-lima habis, karena bapak dan ibu
guru ada rapat untuk try out. Terimakasih.” Aku menghela nafas lega, akhirnya
pulang cepat. Seisi kelas pun mulai gaduh.
KRINGGGG.
Bel pelajaran habis dan itu berarti bel pulang lebih awal. Hari ini aku merasa
sangat lelah. Aku pun keluar kelas, dan menyusuri koridor sendirian. Namun
tanpa disengaja aku melihat Dimas buru-buru keluar dari ruang kelas menuju
parkiran. Aku yang melihat itu pun bergegas menuju parkiran, dengan rasa ingin
tahu yang tinggi akan Dimas si misterius itu.
Aku
yang tadinya ingin sampai rumah lebih awal mengurungkan niat ku itu. Aku memilih
untuk mengikuti Dimas. Aku yakin sekali dibalik sikap misteriusnya itu ada
sesuatu yang ia sembunyikan, entah apa itu.
Aku
yang hari itu kebetulan membawa mobil mengikutinya dari belakang, ia menaiki
sepeda motornya. Entah mengapa aku merasa ada suatu kesedihan yang Dimas pendam
di lubuk hatinya. Setiap kali berbicara ada raut kesedihan dan juga
kekhawatiran pada wajahnya.
Setelah
30 menit di perjalanan tiba-tiba Dimas berhenti di sebuah rumah sakit. Aku
bertanya-tanya siapa yang sakit? Apa Dimas sakit? Aku langsung memarkirkan
mobilku dan mengikuti Dimas dengan jarak yang cukup jauh agar tidak ketahuan.
Iya menuju meja informasi lalu bergegas pergi. Aku pun mulai mengikutinya lagi
dari belakang. Dimas sangat aneh, sangat misterius sekali.
Dia
memasuki sebuah ruangan, setelah beberapa lama aku mulai mendekat ke ruangan
tersebut. Aku mengintip sedikit dari sela-sela tirai yang menutupi jendela. Aku
tercengang, disana ada seorang wanita berumur kurang lebih 40-an terbaring
lemah. Dan disana untuk pertama kalinya aku melihat Dimas menangis. Jadi ini
alasan dia menjadi seperti itu. Dimas, dibalik sikap misteriusnya dia menyimpan
suatu kesedihan. Dugaanku selama ini ternyata benar.
***
Keesokan
harinya sepulang sekolah aku memutuskan untuk ke perpustakaan dulu, berharap
akan menemukan sosok Dimas disana. Aku masih penasaran soal kemarin, atas apa
yang aku lihat di rumah sakit.
Aku
melihat Dimas membaca buku masih di tempat yang sama. Aku duduk di kursi tepat
di hadapannya. Situasinya sama seperti waktu itu, sepi.
“Dimas.”
Aku memanggilnya pelan. Dia mengalihkan pandangannya kepadaku, buku yang tadi
ia baca pun diletakkan diatas meja. “kenapa Ines?” tanyanya. “Ah, enggak kok gak apa-apa.” Aku
menjawab lalu detik berikutnya mengalihkan pandanganku pada buku yang di pegang
Dimas. “Kamu suka dunia kedokteran?” tanyaku kepada Dimas setelah melihat bahwa
buku yang dia baca terkait dengan dunia Dokter. “Iya, aku mau jadi dokter.”
Jawab Dimas singkat.
“Emmm,
kenapa mau jadi dokter?” tanyaku penasaran.
“Aku
mau bantu orang untuk menyembuhkan penyakit mereka. Menyembuhkan penyakit yang
belum ada obatnya. Dan aku mau menjadi orang yang dapat menemukan obatnya itu.”
Aku tercengang itu pertama kalinya Dimas berbicara panjang lebar kepadaku,
ditambah lagi ia menceritakan tentang mimpinya.
“Kamu
hebat. Kamu pasti bisa jadi dokter hebat.” Ujarku sambil tersenyum lebar. Dan
dibalas senyum manis Dimas. “oh iya Dim, aku ngeliat kamu di rumah sakit
kemarin. kalau boleh tahu, apa cita-cita kamu itu ada hubungannya sama itu?” aku
bertanya. Ah bodoh sekali aku menanyakan hal itu. Itu urusan pribadi Dimas.
Dasar Ines bodoh.
Dimas
terdiam atas pertanyaan yang aku berikan. Dia pun mengambil tasnya dan
meninggalkanku di ruang perpustakaan. Dia marah. Aku tahu itu dari raut
wajahnya. Sial aku salah bicara.
***
Sudah
seminggu setelah kejadian di perpustakaan itu bersama Dimas. Setiap kali
bertatap muka, Dimas tidak pernah membalas senyumanku, aku merasa sangat
bersalah. Hari itu aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Aku hanya ingin
mencari tahu, sebenarnya siapa wanita yang di rawat disana.
Sesampainya
dirumah sakit aku langsung menuju meja informasi. “permisi suster, saya mau
tanya pasien yang dirawat di ruang melati itu siapa ya suster?” tanyaku. “maaf
ya dik, saya tidak bisa memberi tahu, itu bagian privacy pasien.” Kata suster
itu. “tapi suster saya temen sekolahnya Dimas. Dimas Priambodo, cowok yang suka
kesini itu.” Jawabku meyakinkan. “oh temannya Dimas, mau menjenguk ibunya
Dimas?” tanya suster itu menyelidik. Aku kaget, jadi itu ibunya Dimas. “Ah iya
suster. Kalau boleh tahu dia sakit apa suster?” “Ibu Neni sakit Alzheimer dik.”
Jawab suster itu. Rahangku terasa jatuh.
Aku
pernah dengar penyakit itu, namun tidak tahu pasti apa akibatnya. Aku merasa
bersalah kepada Dimas. Besok aku harus menemuinya.
***
Jam
istirahat aku langsung berlari menuju ruang kelas Dimas, namun ia tidak ada
disana. Aku juga langsung berlari ke perpustakaan dan tidak ada Dimas juga.
Dimas dimana kamu? Jam istirahat hampir habis aku berjalan lesu menuju kelas
lalu tiba-tiba aku melihat Dimas keluar dari toilet cowok.
“Dimas!”
panggil ku
“Ada
apa lagi? Kamu tuh ya jadi orang pengen tau banget urusan orang lain. Sampe
kerumah sakit segala.” Kata-kata Dimas terdengar sekali kecewa.
“iya
Dim, aku minta maaf. Aku gak ada maksud apa-apa. Aku Cuma heran aja karena kamu
tuh pendiem banget. Setiap aku ngomong sama kamu aku selalu liat raut sedih dan
kecewa di wajah kamu.” Jawabku, berharap Dimas dapat mengerti tiap perkataanku.
“Kita
omongin nanti lagi ya, saya mau masuk kelas. Kamu juga masuk kelas aja sana.”
Jawab Dimas masih terdengar dingin namun sedih. Aku pun hanya terdiam dan
kembali ke kelas.
***
Siang
sepulang sekolah terasa panas. Aku berdiri di parkiran dekat motor Dimas. Aku masih
ingin bicara pada Dimas. Aku masih merasa bersalah dan Dimas seperti belum bisa
memaafkan ku.
Aku
masih berkutat dengan pikiranku sampai suara berat Dimas mengagetkanku.
“Ngapain kamu disini?” tanya Dimas. “Aku mau ngomong lagi sama kamu.” Jawabku,
takut-takut Dimas merasa tersinggung lagi.
“Ayuk
naik.”
“Hah? Naik kemana?” tanyaku bingung dengan ajakan
Dimas barusan.
“Ya,
naik motor saya. Ikut saya ke rumah sakit.”
Aku
langsung menganggukkan kepala dan memakai helm yang Dimas berikan kepada ku.
Selama di perjalan kami berdua diam. Aku bingung mengapa Dimas mengajak aku ke
rumah sakit.
Sampai
di rumah sakit kami langsung menuju ruangan ibu Dimas.
Aku
terdiam melihat keadaan ibu Dimas, dia terlihat lemah di ranjang rumah sakit.
Dimas yang duduk di samping ibunya hanya bisa memandanginya dengan mata sendu.
Aku merasa simpati sekali.
“Alzheimer.
Belum ada obatnya. Dan keadaannya juga semakin memburuk. Dia kehilangan akal
sehatnya. Dia gak bisa ngapa-ngapain lagi. Memorynya hilang, dia bahkan lupa
nama saya. Entah bagaimana dia masih bisa bertahan selama setahun ini.” Dimas
menjelaskan panjang lebar secara tiba-tiba.
“Dim,
maafin aku. Aku turut prihatin sama kamu, sekali lagi aku minta maaf ya Dim.”
“Gak
apa-apa kok nes. Aku juga salah. Aku terlalu menutup diri sama dunia luar.
Kadang aku juga butuh teman cerita. Tapi aku gatau siapa.” Ucap Dimas.
“Kamu
punya aku sekarang Dim, aku mau denger semua cerita kamu.” Aku mengucapkannya
mantap dan dibalas dengan senyum oleh Dimas.
Sekarang
Dimas tidak sendirian lagi.
***
Sudah
sebulan, aku dan Dimas juga semakin dekat. 2 kali seminggu paling tidak aku
ikut Dimas menjenguk ibunya. Kadang aku juga bertemu ayahnya dan kakaknya
disana. Namun sebulan itu juga keadaan ibunya kian memburuk. Sikapnya tidak
semisterius dulu namun dengan kondisi ibunya yang memburuk Dimas semakin
terlihat murung.
“Ines,
hari ini mau ikut saya ke rumah sakit?”
“Mau
Dim! Hehe.” Aku balas menjawab sambil tertawa.
“Kamu
udah makan nes?”
“Udah
kok Dim tadi di kantin. Kamu?”
“Saya
juga udah kok.”
Di
motor Dimas kami mengobrol sambil tertawa. Aku senang melihat perubahan Dimas
yang mau lebih terbuka terhadap orang lain.
***
Entah
mengapa saat tiba di rumah sakit suasananya berubah menjadi tidak enak. Apakah
ini hanya perasaanku saja atau memang ada sesuatu yang tidak mengenakan
terjadi?
Feeling-ku
tidak salah saat memasuki ruang ibu Dimas. Kain rumah sakit menutupi wajah
ibunya, ayahnya dan kakaknya menangis di tepi ranjang. Tubuhku lemas seketika.
Dimas yang ada di sampingku pun langsung memeluk jasad ibunya. Jadi ini
akhirnya.
***
Di
hari pemakaman aku hadir. Aku melihat Dimas disana, berdiri, ia tidak menangis.
Aku tahu ia berusaha tegar. Aku menghampiriya dan menggandeng tangannya juga
mengelusnya dengan ibu jari-ku.
“Sabar
ya Dimas. Tuhan punya caranya sendiri untuk menyadarkan kita bahwa ada dimana
saatnya kita kehilangan.” Aku berkata sambil menenangkan Dimas.
Dimas
berbalik menatapku sambil berkata “saya tahu. Dan Tuhan mengirimkan kamu untuk
saya, agar saya tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja.” Aku tersenyum
mendengar ucapan Dimas, terdengar sangat tulus.
“Kamu
pasti akan jadi dokter yang hebat Dim nantinya. Kamu bisa menemukan obat yang
dapat menyembuhkan penyakit langka. Kamu bisa membantu mereka yang
membutuhkan.”
“Terimakasih
ya Ines. Terimakasih banyak.” Dimas tersenyum tulus. Tidak ada lagi raut murung
di wajahnya.
Aku
pun langsung merengkuh Dimas dengan tangan kecil ku.
“Aku
tidak tahu bagaimana cara kerjanya dalam memberikan pelukan yang baik, tapi aku
tahu kadang di saat seperti ini yang dibutuhkan seseorang bukan lagi kata-kata
yang menenangkan, tapi sebuah pelukan yang mampu menenangkan.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar