Sang fajar
bertekuk lutut dihadapan rembulan. Seperti mengalah pada sang rembulan. Dan jikalau
malam tiba bintang pun menemani sang rembulan.
Andai saja
aku seperti mereka, selalu menemani untuk menjaga sunyinya malam. Bersatu namun
tak saling mengganggu. Namun sudahlah, itu cuma khayalku. Menikmati indahnya
malam hanya angin yang berhembus dan sebuah buku yang selalu menemaniku. Itu pun
sudah cukup menghapus ‘sebagian’ akan gundahku.
Sesaat jika
aku merindukan seseorang aku suka menuangkan isi hatiku pada secarik kertas. Dan
disana menarilah sebuah pena untuk mengukir namanya. Lalu aku pun menitipkan
surat itu pada angin malam yang berhembus untuk disampaikan kepada Tuhan agar
dapat dikabulkan permintaanku, dan agar rinduku sampai kepada seseorang diluar
sana.
Ini rinduku...
Yang ku
tulis adalah tentang dirimu. Tentang rinduku yang tak mau surut yang harus
segera ku hentikan karena aku takut tenggelam, bahkan jauh lebih dalam. Merindumu
diam-diam membuatku tak karuan, ingin mengataknnya padamu tapi hatiku berkata
jangan, takut jika terlalu merindu hati ini jadi lebam.
Mungkin rindu
harus segera memberi tahu hatiku agar berhenti menunggumu. Lama dalam ketidakpastian
hanya akan membuat hatiku lelah lebih dari sebelumnya. Lelah itu pasti, tapi
akankah lebih baik bila menghentikannya lebih awal. Kita tak saling melihat
tapi setidaknya jarak hatiku dengan hatimu dekat.
Ini
rinduku...
Semua rindu
ini aku biarkan meluap, dan perlahan akan memudar dengan sendirinya. Aku menulis
tentangmu hingga tertidur lelap dan lupa. Namun sebelum rindu ini pergi aku
ingin angin malam untuk menyampaikan rindu ini padamu seperti biasa. Rinduku ini
yang terakhir kuharap kau mengerti. Dan aku berterima kasih atas segala rindu
diatas angin malam juga rembulan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar